Senin, 19 Desember 2011

Ototo (Younger Brother)

Pernahkah anda mendengar komentar yang kira-kira berbunyi, “Dalam sebuah keluarga biasanya ada saja satu orang yang jadi troublemaker menyusahkan anggota keluarga yang lain.” Aku pernah beberapa kali mendengarnya, malah salah satunya ditujukan untuk adik laki-lakiku sendiri. Karena itu, sambil menonton film ini, aku juga sekaligus merefleksi kehidupan dan pola pandanganku sendiri tentang keluarga. Kalimat dalam quote diatas adalah ucapan kakak sepupu sekaligus kakak angkatku almarhumah Ritati, ketika adikku yang satu itu terlibat hal yang menyusahkan kami sekeluarga. Paling tidak, apa yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam film Ototo bisa kumaklumi karena tak jauh dari apa yang disampaikan oleh kakakku diatas. Ototo sendiri dalam bahasa Jepang berarti adik lelaki.
Film dibuka oleh narasi tokoh Koharu Takano (Yuu Aoi) tentang keluarganya yaitu ibunya seorang apoteker Ginko Takano (Sayuri Yoshinaga), mendiang ayahnya, dan terakhir adik ibunya yang bernama Tetsuro Tanno (Tsurube Shofukutei). Koharu kecil menyukai pamannya yang ceria dan suka bertingkah kekanak-kanakan itu. Tetsuro sendiri sering membanggakan betapa ayah Koharu memintanya memberikan nama pada anak perempuan tunggalnya. Seiring dengan semakin dewasanya Koharu, Tetsuro justru masih tetap tak berubah dengan sifat kekanak-kanakannya dan tak kunjung dewasa. Belum lagi dengan hobinya mabuk minum sake dan berjudi. Hingga akhirnya ketika Koharu melangsungkan pesta pernikahan dengan seorang pria dari keluarga terhormat, Tetsuro mengacaukan pesta sewaktu mabuk. Hasilnya, hubungan Koharu dengan keluarga suaminya memburuk, malah abang pertama Tetsuro dan Ginko memutuskan hubungan keluarga dengan Tetsuro. Walaupun demikian tetap saja tak terlihat tanda-tanda sifat kekanakan Tetsuro berubah. Terakhir, Tetsuro justru terlibat banyak hutang yang menyebabkan Ginko dan Koharu marah besar.
Pak tua bernama Yoji Yamada ini adalah salah satu sutradara Jepang yang banyak memperoleh penghargaan di dunia internasional. Bagi yang belum kenal Yamada, mungkin anda masih ingat dengan trilogi film samurai, diawali Twilight Samurai yang masuk nominasi film berbahasa asing terbaik academy award ke-76. Film lain Yamada yang dikenang oleh penggemar film adalah serial Tora-san yang begitu dicintai insan perfilman Jepang. Film ototo ini sendiri meraih banyak nominasi Japanese Academy Award 2011 walaupun tak berhasil membawa pulang satupun penghargaan karena kalah bersaing dengan Confessions dan Akunin.
Jika Confessions dan Akunin dibawakan dengan gaya kontroversi dan meledak-ledak, ototo justru kebalikannya dibawakan dengan tenang diselingi komedi dan drama keluarga yang kental. Alur film sendiri mengalir lancar dan para tokohnya bisa ditemukan dalam keseharian. Sayangnya mungkin justru hal ini yang membuat ototo kurang menonjol di ajang festival. Filmnya bagus dan menyentuh, tapi tidak bisa dikatakan luar biasa untuk menarik perhatian para juri festival. Walaupun demikian, justru kesederhanaan ototo yang membuatku suka pada film ini karena aku bisa merefleksikan kehidupan keluarga sehari-hari yang ada dalam film ototo. Menurutku film ini lebih bagus jika dibandingkan dengan The Fighter yang sama-sama bertema tentang keluarga dan persaudaraan. Film ini sendiri diakhiri dengan tragedi tanpa disikapi dengan menye dan mendayu-dayu layaknya mayoritas drama Korea. Malah dialog di akhir film antara 3 wanita keluarga Takano (cucu, ibu dan nenek) terasa menyentuh tanpa harus diiringi tangisan sedih.
Tiga janda Takano, nenek-ibu-cucu
Tiga janda Takano, nenek-ibu-cucu
Dari segi akting, seluruh pelakon utama film ini tampil baik. Tentu saja yang paling menarik perhatian adalah Tsurube Shofukutei yang memerankan si adik troublemaker Tetsuro, aku paling suka gaya bicaranya yang kekanakan dengan dialek kansai yang lucu. Dua aktris beda generasi Yoshinaga dan Aoi tampil dengan mengesankan sebagai ibu-anak. Satu lagi yang mencuri perhatian adalah akting aktris senior berusia 88 tahun Haruko Kato yang berperan sebagai ibu mertuanya Ginko yang rada pikun dan cerewet. Gayanya benar-benar menceminkan tipikal posisi nenek-nenek Jepang yang tinggal bersama anak-mantu-cucu dibawah satu atap. Tokoh-tokoh pendamping lainnya yang menghiasi film ini juga bermain baik termasuk Ryo Kasei. Tapi yang menjadi tokoh pendukung favoritku adalah pelanggan toko obat Ginko sekaligus tetangga mereka yaitu karakter kakek mata keranjang Pak Maruyama yang dimainkan aktor watak Takashi Sasano.
Hal lain diluar cerita keluarga Takano yang menarik perhatianku adalah hubungan antara Koharu dengan suaminya yang notabene berasal dari keluarga kaya dan terhormat. Perkawinan mereka yang berbeda status sosial membuat cinta mereka di awal pernikahan menjadi cepat mendingin. Kalau hanya mengandalkan cinta, terus terang saja cinta itu bisa luntur dengan kerasnya tekanan yang diakibatkan perbedaan status. Belum lagi pengaruh pihak keluarga (terutama ibu-bapak) yang tentu saja berdiri tegak di level status masing-masing sehingga berpotensi menimbulkan konflik.
Alhasil film ini berhasil menampilkan kompleksitas hubungan persaudaraan dan keluarga dengan cara yang menyentuh hati, sekaligus bisa dijadikan bahan renungan bagi yang memiliki anggota keluarga yang bermasalah. Ingatlah, persaudaraan itu bukan hanya hubungan fisik malainkan juga non-fisik. Memiliki pertalian hubungan darah belum tentu merasakan persaudaraan tanpa adanya ikatan bathin.

Minggu, 13 November 2011

keanekaragaman hayati

Negara kita memang memiliki banyak sekali keanekaragaman adat istiadat dan budaya. Dari mulai bahasa, pakaian adat, hingga rumah adat di masing-masing propinsi berbeda-beda.
Sekedar info, negara kita memiliki salah satu rumah adat yang cukup terkenal hingga ke mancanegara yaitu Rumah Panggung Woloan. Rumah panggung merupakan rumah adat Minahasa yang dapat kita jumpai di kota Tomohon, Sulawesi Utara. Keunikan dari rumah panggung ini adalah rumah panggung ini dapat dipindahtempatkan sesuai keinginan lokasi yang diinginkan. Rumah ini terbuat dari beberapa bagian kayu yang disusun sehingga terbentuk menjadi sebuah rumah. Bagian-bagian kayu ini dapat dibongkar pasang sehingga rumah ini dapat dipindahtempatkan. Karena bahannya terbuat dari kayu maka diperlukan tenaga yang memiliki kreatifitas dan kemampuan indiviu yang tinggi. Kreatifitas dan Kemampuan individu yang tinggi inilah yang membuat harga dari rumah panggung ini bernilai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
rumah Woloan
Meskipun harganya pembuatannya mahal tetapi masyarakat kota Tomohon kebanyakan menggunakan rumah ini sebagai tempat tinggal mereka. Mereka lebih bangga menggunakan rumah panggung ini dibandingkan rumah yang terbuat dari batu bata. Sebagai pribadi yang bukan keturunan minahasa saya salut dan bangga untuk masyarakat kota Tomohon. Semoga tulisan ini dapat menambah wawasan teman2 mengenai rumah panggung woloan dan menambah rasa cinta teman2 untuk Indonesia.