Film dibuka oleh narasi tokoh Koharu Takano (Yuu Aoi) tentang keluarganya yaitu ibunya seorang apoteker Ginko Takano (Sayuri Yoshinaga), mendiang ayahnya, dan terakhir adik ibunya yang bernama Tetsuro Tanno (Tsurube Shofukutei). Koharu kecil menyukai pamannya yang ceria dan suka bertingkah kekanak-kanakan itu. Tetsuro sendiri sering membanggakan betapa ayah Koharu memintanya memberikan nama pada anak perempuan tunggalnya. Seiring dengan semakin dewasanya Koharu, Tetsuro justru masih tetap tak berubah dengan sifat kekanak-kanakannya dan tak kunjung dewasa. Belum lagi dengan hobinya mabuk minum sake dan berjudi. Hingga akhirnya ketika Koharu melangsungkan pesta pernikahan dengan seorang pria dari keluarga terhormat, Tetsuro mengacaukan pesta sewaktu mabuk. Hasilnya, hubungan Koharu dengan keluarga suaminya memburuk, malah abang pertama Tetsuro dan Ginko memutuskan hubungan keluarga dengan Tetsuro. Walaupun demikian tetap saja tak terlihat tanda-tanda sifat kekanakan Tetsuro berubah. Terakhir, Tetsuro justru terlibat banyak hutang yang menyebabkan Ginko dan Koharu marah besar.
Pak tua bernama Yoji Yamada ini adalah salah satu sutradara Jepang yang banyak memperoleh penghargaan di dunia internasional. Bagi yang belum kenal Yamada, mungkin anda masih ingat dengan trilogi film samurai, diawali Twilight Samurai yang masuk nominasi film berbahasa asing terbaik academy award ke-76. Film lain Yamada yang dikenang oleh penggemar film adalah serial Tora-san yang begitu dicintai insan perfilman Jepang. Film ototo ini sendiri meraih banyak nominasi Japanese Academy Award 2011 walaupun tak berhasil membawa pulang satupun penghargaan karena kalah bersaing dengan Confessions dan Akunin.
Jika Confessions dan Akunin dibawakan dengan gaya kontroversi dan meledak-ledak, ototo justru kebalikannya dibawakan dengan tenang diselingi komedi dan drama keluarga yang kental. Alur film sendiri mengalir lancar dan para tokohnya bisa ditemukan dalam keseharian. Sayangnya mungkin justru hal ini yang membuat ototo kurang menonjol di ajang festival. Filmnya bagus dan menyentuh, tapi tidak bisa dikatakan luar biasa untuk menarik perhatian para juri festival. Walaupun demikian, justru kesederhanaan ototo yang membuatku suka pada film ini karena aku bisa merefleksikan kehidupan keluarga sehari-hari yang ada dalam film ototo. Menurutku film ini lebih bagus jika dibandingkan dengan The Fighter yang sama-sama bertema tentang keluarga dan persaudaraan. Film ini sendiri diakhiri dengan tragedi tanpa disikapi dengan menye dan mendayu-dayu layaknya mayoritas drama Korea. Malah dialog di akhir film antara 3 wanita keluarga Takano (cucu, ibu dan nenek) terasa menyentuh tanpa harus diiringi tangisan sedih.

Tiga janda Takano, nenek-ibu-cucu
Hal lain diluar cerita keluarga Takano yang menarik perhatianku adalah hubungan antara Koharu dengan suaminya yang notabene berasal dari keluarga kaya dan terhormat. Perkawinan mereka yang berbeda status sosial membuat cinta mereka di awal pernikahan menjadi cepat mendingin. Kalau hanya mengandalkan cinta, terus terang saja cinta itu bisa luntur dengan kerasnya tekanan yang diakibatkan perbedaan status. Belum lagi pengaruh pihak keluarga (terutama ibu-bapak) yang tentu saja berdiri tegak di level status masing-masing sehingga berpotensi menimbulkan konflik.
Alhasil film ini berhasil menampilkan kompleksitas hubungan persaudaraan dan keluarga dengan cara yang menyentuh hati, sekaligus bisa dijadikan bahan renungan bagi yang memiliki anggota keluarga yang bermasalah. Ingatlah, persaudaraan itu bukan hanya hubungan fisik malainkan juga non-fisik. Memiliki pertalian hubungan darah belum tentu merasakan persaudaraan tanpa adanya ikatan bathin.
